PELAFALAN BACAAN SHALAT YANG TAK SEMPURNA OLEH ANAK TUNA RUNGU
Pelafalan bacaan shalat oleh anak
tunarungu seringkali tidak sempurna, karena mereka kurang bisa menangkap
bunyi dari luar untuk disimpan di dalam memori audio mereka. Sehingga
ketika diajari bacaan shalat, mereka tidak bisa mencerna bunyi bacaan
yang diajarkan sehingga tidak meniru dengan baik. Pertanyaannya, apakah
bagi anak tunarungu ada keringanan dalam hal bacaannya, misalnya cukup
membaca bacaan yang wajib saja (toh itu pun mereka bakal sangat
kesulitan)? Atau seperti apa keringanan yang mungkin ada dalam
melaksanakan shalat bagi anak tunarungu? (Agus, Bandung)
Jawab :
Para ulama sepakat bahwa orang yang tidak
dapat melafalkan bacaan Al-Fatihah dengan baik dikarenakan cacat pada
lidah, seperti celat/cedal (Arab : al-altsagh), sholatnya tidak
batal. Misalnya orang celat yang mengganti bunyi huruf "sin" pada kata "al-mustaqim"
menjadi huruf "tsa`" sehingga dibaca "al-muts-taqim". Atau yang
mengganti bunyi huruf "ra`" pada kata "rabbil-‘alamin" menjadi
huruf "ghain" sehingga dibaca "ghabbil-‘alamin."
Orang yang lidahnya cacat yang bacaannya
seperti itu, sah sholatnya selama dia tidak menyengaja berbuat seperti
itu dan tidak mampu lagi memperbaiki bacaannya. (Ahmad Salim Mulhim, Faidhur
Rahman fi Al-Ahkam Al-Fiqhiyah al-Khash bi Al-Qur`an, [Amman :
Darun Nafa`is, 2001], hal. 204).
Berikut ini akan kami nukilkan pendapat
berbagai mazhab dalam masalah ini, sebagaimana disebut dalam referensi
tersebut di atas, yakni kitab Faidhur Rahman karya Ahmad Salim
Mulhim, pada bab Hukmu Sholat al-‘Ajiz ‘an al-Qira`ah aw Laa Yahsunu
Qira`atal Qur`an li ‘illatin fi Lisanihi (Bab Tentang Hukum Shalat
Orang Yang Tidak Mampu Membaca atau Tidak Baik Membaca al-Qur`an Karena
Suatu Penyakit pada Lidahnya), halaman 204-205.
Menurut Mazhab Hanafi :
"Pada dasarnya orang yang keadaannya
seperti ini (lidahnya celat), hendaklah dia bermakmum kepada orang yang
bacaannya baik, atau membaca dari al-Qur`an surat yang dapat dibacanya
dengan baik yang selamat dari celatnya. Dan hendaklah dia berusaha
memperbaiki ucapannya. Kalau dia tidak mendapati orang lain yang dapat
dimakmumi, dan tidak mampu memperbaiki ucapannya, serta tidak
mendapatkan satu surat dari al-Qur`an surat yang dapat dibacanya dengan
baik yang selamat dari celatnya, maka sholatnya sah. Tapi kalau dia
dimungkinkan bermakmum kepada orang lain namun tak dilakukannya, atau
tidak memperbaiki ucapannya padahal dia masih mampu memperbaikinya, maka
shalatnya tidak sah." (Syarah Fathul Qadir, 1/327).
Menurut Mazhab Maliki :
"Orang celat yang tidak dapat mengucapkan
dengan baik sebagian huruf, misalnya yang mengganti bunyi huruf "ha`"
[seperti dalam kata Muhammad] menjadi "ha`" [seperti dalam kata Huud]
sehingga dia membaca "al-hamdu" menjadi "al-Hamdu", atau yang mengganti
bunyi huruf "ra`" menjadi "lam" sehingga dia membaca "rabbi" menjadi
"labbi" dan yang semisalnya, atau orang ‘ajam (non Arab) yang tidak
dapat membedakan bunyi huruf "zha`" [seperti dalam kata zhalimin] dengan
huruf "dha`" [seperti dalam kata dhaalliin], atau yang tidak dapat
membedakan bunyi "sin" dengan huruf "shad"; jika dia tidak menyengaja
berbuat itu dan memang pengucapannya sudah menjadi tabiat (sukar
diperbaiki), maka shalatnya sah. Sebab pengucapan seperti itu termasuk
kekeliruan bacaan yang ringan (al-lahn al-khafiy) dan tidak
membatalkan shalat, kecuali kalau itu dilakukan secara sengaja." (Mawahibul
Jalil, 2/100; Asy-Syarhu ash-Shaghir, 1/437).
Menurut Mazhab Syafi’i :
"Barangsiapa yang tidak dapat membaca
dengan baik surat al-Fatihah secara keseluruhan, maka dia ummi, sama
saja apakah dia menghapalnya ataukah menghilangkan satu huruf darinya,
seperti orang…? (Arab : al-art) yang meng-idgham-kan
(menggabungkan) satu huruf dengan huruf lain yang bukan pada tempatnya,
misalnya orang yang mengucapkan bunyi huruf "sin" pada kata "al-mustaqim"
menjadi huruf "tsa`" sehingga dibaca "al-muts-taqim", demikian
pula orang celat (Arab : al-altsagh) yang mengganti huruf "ra`"
dengan "ghain", atau mengganti bunyi huruf "ha`" [seperti dalam kata
Muhammad] menjadi "ha`" [seperti dalam kata Huud], atau mengganti huruf
"dzal" dengan huruf "zay" sehingga membaca "alladziina" menjadi
"allaziina" dan yang semisalnya, maka shalatnya sah untuk dirinya
sendiri karena kelemahan dan ketidakmampuannya, dan dikarenakan dia
berhak mengimami orang yang semisalnya maka tentu sah pula shalatnya
untuk dirinya sendiri." (Al-Majmu’, 4/269; Hasyiyah al-Baijuri,
1/204; Hasyiyah al-Qalyubi wa ‘Umairah, 1/231; Hasyiyah
al-Bujairimi, 1/306-309; Mughni al-Muhtaj, 1/248-239; as-Siraj
al-Wahhab, hal. 69)
Menurut Mazhab Hambali :
"Barangsiapa meninggalkan satu huruf
dari huruf-huruf dalam surat al-Fatihah karena ketidakmampuannya, atau
mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, seperti orang celat (Arab : al-altsagh)
yang mengganti huruf "ra`" menjadi "ghain", dan juga orang…? (Arab : al-art)
yang meng-idgham-kan (menggabungkan) satu huruf dengan huruf lain, dan
tidak mampu memperbaiki bacaanya, maka dia ummi. Shalatnya sah
untuk dirinya sendiri, sebab dia boleh mengimami orang yang semisalnya,
maka sah pula kalau dia shalat sendiri." (Al-Mughni wa Asy-Syarhul
Kabir, 2/31; Nailul Ma`arib, 1/177-179; Al-Muqni’,
1/208; Syarah Muntaha al-Iradat, 1/261; 1/188).
Dari pendapat empat mazhab di atas dapat
ditarik kesimpulan, bahwa orang yang lidahnya cacat seperti celat,
sehingga dia tidak dapat melafalkan surat Al-Fatihah dengan baik,
sholatnya sah, selama dia tidak menyengaja berbuat itu dan sudah tidak
mampu lagi memperbaiki bacaannya.
Menurut kami, hukum untuk orang yang
lidahnya cacat ini dapat diterapkan juga untuk anak tunarungu yang tidak
dapat mengucapkan surat al-Fatihah dengan baik. Maka shalat anak
tunarungu yang demikian itu juga sah, selama pengucapannya yang tak
sempurna itu bukan karena kesengajaan dan memang sudah tidak dapat
diperbaiki lagi.
Kesamaan hukum untuk orang celat dengan
anak tunarungu ini bukan didasarkan pada Qiyas, melainkan karena
menerapkan nash-nash umum yang dapat diterapkan untuk berbagai kasus
yang termasuk dalam keumumumannya. Jadi keumuman nash-nash ini berlaku
pula anak tunarungu, sebagaimana berlaku untuk orang celat.
Dalam al-Qur`an dan as-Sunnah terdapat
nash-nash umum yang menjelaskan bahwa Allah SWT tidak membebani seorang
kecuali sesuai dengan kesanggupannya, dan adanya permaafan bagi orang
yang berbuat salah tanpa unsur kesengajaan. (Atha’ bin Khalil, Taisir
al-Wushul ila Al-Ushul, hal. 49 dan 53)
Nash-nash umum tersebut misalnya firman
Allah SWT :
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
"Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya." (QS Al-Baqarah [2] : 286).
Juga firman-Nya :
فاتقواالله ما استطعتم
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS At-Taghabun [64] : 16)
Juga sabda Rasulullah SAW :
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم
"Jika aku perintahkan kamu suatu perkara,
maka laksanakanlah itu menurut kesanggupanmu." (HR Bukhari no 7288 dan
Muslim no 1337). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn
Hazm], 2000, hal. 213).
Imam Syaukani menjelaskan bahwa hadis ini
menunjukkan tiga hal. Pertama, bahwa ada permaafan (al-afwu)
untuk segala sesuatu yang berada di luar batas kesanggupan. Kedua,
bahwa wajib hukumnya melakukan sesuatu yang diperintahkan syara dalam
batas kesanggupan. Ketiga, bahwa kalau masih sanggup mengerjakan sebagian
yang diperintahkan, bukan berarti boleh meninggalkan semua yang
diperintahkan. (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn
Hazm], 2000, hal. 214).
Berdasarkan nash-nash umum ini, maka
pelafalan Al-Fatihah yang tidak sempurna oleh anak tunarungu dapatlah
dimaafkan karena mengucapkan surat al-Fatihah secara sempurna jelas
berada di luar batas-batas kesanggupannya.
Selain itu, terdapat nash umum yang
menerangkan adanya permaafan (al-afwu) bagi orang yang berbuat
salah tanpa unsur kesengajaan. Sabda Nabi SAW :
"Telah diangkat dari umatku (siksaan)
karena tersalah (tidak sengaja), lupa, dan apa yang dipaksakan atas
mereka."(HR Ibnu Hibban).
Kesimpulannya, berdasarkan nash-nash umum
di atas, maka sah shalatnya anak tunarungu dengan bacaan al-Fatihah yang
tidak sempurna, selama ketidaksempurnaan pelafalan itu tidak disengaja
dan sudah tidak dapat lagi diusahakan untuk diperbaiki. Wallahu alam.
Yogyakarta, 10 Mei 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar