Kamis, 15 September 2011

PELAFALAN BACAAN SHALAT YANG TAK SEMPURNA OLEH ANAK TUNA RUNGU

PELAFALAN BACAAN SHALAT YANG TAK SEMPURNA OLEH ANAK TUNA RUNGU

View Full Size ImageTanya :
Pelafalan bacaan shalat oleh anak tunarungu seringkali tidak sempurna, karena mereka kurang bisa menangkap bunyi dari luar untuk disimpan di dalam memori audio mereka. Sehingga ketika diajari bacaan shalat, mereka tidak bisa mencerna bunyi bacaan yang diajarkan sehingga tidak meniru dengan baik. Pertanyaannya, apakah bagi anak tunarungu ada keringanan dalam hal bacaannya, misalnya cukup membaca bacaan yang wajib saja (toh itu pun mereka bakal sangat kesulitan)? Atau seperti apa keringanan yang mungkin ada dalam melaksanakan shalat bagi anak tunarungu? (Agus, Bandung)
Jawab :
Para ulama sepakat bahwa orang yang tidak dapat melafalkan bacaan Al-Fatihah dengan baik dikarenakan cacat pada lidah, seperti celat/cedal (Arab : al-altsagh), sholatnya tidak batal. Misalnya orang celat yang mengganti bunyi huruf "sin" pada kata "al-mustaqim" menjadi huruf "tsa`" sehingga dibaca "al-muts-taqim". Atau yang mengganti bunyi huruf "ra`" pada kata "rabbil-‘alamin" menjadi huruf "ghain" sehingga dibaca "ghabbil-‘alamin."
Orang yang lidahnya cacat yang bacaannya seperti itu, sah sholatnya selama dia tidak menyengaja berbuat seperti itu dan tidak mampu lagi memperbaiki bacaannya. (Ahmad Salim Mulhim, Faidhur Rahman fi Al-Ahkam Al-Fiqhiyah al-Khash bi Al-Qur`an, [Amman : Darun Nafa`is, 2001], hal. 204).
Berikut ini akan kami nukilkan pendapat berbagai mazhab dalam masalah ini, sebagaimana disebut dalam referensi tersebut di atas, yakni kitab Faidhur Rahman karya Ahmad Salim Mulhim, pada bab Hukmu Sholat al-‘Ajiz ‘an al-Qira`ah aw Laa Yahsunu Qira`atal Qur`an li ‘illatin fi Lisanihi (Bab Tentang Hukum Shalat Orang Yang Tidak Mampu Membaca atau Tidak Baik Membaca al-Qur`an Karena Suatu Penyakit pada Lidahnya), halaman 204-205.
Menurut Mazhab Hanafi :
"Pada dasarnya orang yang keadaannya seperti ini (lidahnya celat), hendaklah dia bermakmum kepada orang yang bacaannya baik, atau membaca dari al-Qur`an surat yang dapat dibacanya dengan baik yang selamat dari celatnya. Dan hendaklah dia berusaha memperbaiki ucapannya. Kalau dia tidak mendapati orang lain yang dapat dimakmumi, dan tidak mampu memperbaiki ucapannya, serta tidak mendapatkan satu surat dari al-Qur`an surat yang dapat dibacanya dengan baik yang selamat dari celatnya, maka sholatnya sah. Tapi kalau dia dimungkinkan bermakmum kepada orang lain namun tak dilakukannya, atau tidak memperbaiki ucapannya padahal dia masih mampu memperbaikinya, maka shalatnya tidak sah." (Syarah Fathul Qadir, 1/327).
Menurut Mazhab Maliki :
"Orang celat yang tidak dapat mengucapkan dengan baik sebagian huruf, misalnya yang mengganti bunyi huruf "ha`" [seperti dalam kata Muhammad] menjadi "ha`" [seperti dalam kata Huud] sehingga dia membaca "al-hamdu" menjadi "al-Hamdu", atau yang mengganti bunyi huruf "ra`" menjadi "lam" sehingga dia membaca "rabbi" menjadi "labbi" dan yang semisalnya, atau orang ‘ajam (non Arab) yang tidak dapat membedakan bunyi huruf "zha`" [seperti dalam kata zhalimin] dengan huruf "dha`" [seperti dalam kata dhaalliin], atau yang tidak dapat membedakan bunyi "sin" dengan huruf "shad"; jika dia tidak menyengaja berbuat itu dan memang pengucapannya sudah menjadi tabiat (sukar diperbaiki), maka shalatnya sah. Sebab pengucapan seperti itu termasuk kekeliruan bacaan yang ringan (al-lahn al-khafiy) dan tidak membatalkan shalat, kecuali kalau itu dilakukan secara sengaja." (Mawahibul Jalil, 2/100; Asy-Syarhu ash-Shaghir, 1/437).
Menurut Mazhab Syafi’i :
"Barangsiapa yang tidak dapat membaca dengan baik surat al-Fatihah secara keseluruhan, maka dia ummi, sama saja apakah dia menghapalnya ataukah menghilangkan satu huruf darinya, seperti orang…? (Arab : al-art) yang meng-idgham-kan (menggabungkan) satu huruf dengan huruf lain yang bukan pada tempatnya, misalnya orang yang mengucapkan bunyi huruf "sin" pada kata "al-mustaqim" menjadi huruf "tsa`" sehingga dibaca "al-muts-taqim", demikian pula orang celat (Arab : al-altsagh) yang mengganti huruf "ra`" dengan "ghain", atau mengganti bunyi huruf "ha`" [seperti dalam kata Muhammad] menjadi "ha`" [seperti dalam kata Huud], atau mengganti huruf "dzal" dengan huruf "zay" sehingga membaca "alladziina" menjadi "allaziina" dan yang semisalnya, maka shalatnya sah untuk dirinya sendiri karena kelemahan dan ketidakmampuannya, dan dikarenakan dia berhak mengimami orang yang semisalnya maka tentu sah pula shalatnya untuk dirinya sendiri." (Al-Majmu’, 4/269; Hasyiyah al-Baijuri, 1/204; Hasyiyah al-Qalyubi wa ‘Umairah, 1/231; Hasyiyah al-Bujairimi, 1/306-309; Mughni al-Muhtaj, 1/248-239; as-Siraj al-Wahhab, hal. 69)
Menurut Mazhab Hambali :
"Barangsiapa meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf dalam surat al-Fatihah karena ketidakmampuannya, atau mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, seperti orang celat (Arab : al-altsagh) yang mengganti huruf "ra`" menjadi "ghain", dan juga orang…? (Arab : al-art) yang meng-idgham-kan (menggabungkan) satu huruf dengan huruf lain, dan tidak mampu memperbaiki bacaanya, maka dia ummi. Shalatnya sah untuk dirinya sendiri, sebab dia boleh mengimami orang yang semisalnya, maka sah pula kalau dia shalat sendiri." (Al-Mughni wa Asy-Syarhul Kabir, 2/31; Nailul Ma`arib, 1/177-179; Al-Muqni’, 1/208; Syarah Muntaha al-Iradat, 1/261; 1/188).
Dari pendapat empat mazhab di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang yang lidahnya cacat seperti celat, sehingga dia tidak dapat melafalkan surat Al-Fatihah dengan baik, sholatnya sah, selama dia tidak menyengaja berbuat itu dan sudah tidak mampu lagi memperbaiki bacaannya.
Menurut kami, hukum untuk orang yang lidahnya cacat ini dapat diterapkan juga untuk anak tunarungu yang tidak dapat mengucapkan surat al-Fatihah dengan baik. Maka shalat anak tunarungu yang demikian itu juga sah, selama pengucapannya yang tak sempurna itu bukan karena kesengajaan dan memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Kesamaan hukum untuk orang celat dengan anak tunarungu ini bukan didasarkan pada Qiyas, melainkan karena menerapkan nash-nash umum yang dapat diterapkan untuk berbagai kasus yang termasuk dalam keumumumannya. Jadi keumuman nash-nash ini berlaku pula anak tunarungu, sebagaimana berlaku untuk orang celat.
Dalam al-Qur`an dan as-Sunnah terdapat nash-nash umum yang menjelaskan bahwa Allah SWT tidak membebani seorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya, dan adanya permaafan bagi orang yang berbuat salah tanpa unsur kesengajaan. (Atha’ bin Khalil, Taisir al-Wushul ila Al-Ushul, hal. 49 dan 53)
Nash-nash umum tersebut misalnya firman Allah SWT :

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS Al-Baqarah [2] : 286).
Juga firman-Nya :

فاتقواالله ما استطعتم

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS At-Taghabun [64] : 16)
Juga sabda Rasulullah SAW :

إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم

"Jika aku perintahkan kamu suatu perkara, maka laksanakanlah itu menurut kesanggupanmu." (HR Bukhari no 7288 dan Muslim no 1337). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 213).
Imam Syaukani menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan tiga hal. Pertama, bahwa ada permaafan (al-afwu) untuk segala sesuatu yang berada di luar batas kesanggupan. Kedua, bahwa wajib hukumnya melakukan sesuatu yang diperintahkan syara dalam batas kesanggupan. Ketiga, bahwa kalau masih sanggup mengerjakan sebagian yang diperintahkan, bukan berarti boleh meninggalkan semua yang diperintahkan. (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 214).
Berdasarkan nash-nash umum ini, maka pelafalan Al-Fatihah yang tidak sempurna oleh anak tunarungu dapatlah dimaafkan karena mengucapkan surat al-Fatihah secara sempurna jelas berada di luar batas-batas kesanggupannya.
Selain itu, terdapat nash umum yang menerangkan adanya permaafan (al-afwu) bagi orang yang berbuat salah tanpa unsur kesengajaan. Sabda Nabi SAW :
"Telah diangkat dari umatku (siksaan) karena tersalah (tidak sengaja), lupa, dan apa yang dipaksakan atas mereka."(HR Ibnu Hibban).
Kesimpulannya, berdasarkan nash-nash umum di atas, maka sah shalatnya anak tunarungu dengan bacaan al-Fatihah yang tidak sempurna, selama ketidaksempurnaan pelafalan itu tidak disengaja dan sudah tidak dapat lagi diusahakan untuk diperbaiki. Wallahu alam.
Yogyakarta, 10 Mei 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi

Tidak ada komentar: