HARUSKAH I'TIKAF LAMANYA 10 HARI?
Ustadz, apakah i'tikaf itu harus 10 (sepuluh)
hari? (081802591925)
Jawab :
Tidak ada dalil syar'i yang mewajibkan bahwa i'tikaf
itu lamanya harus 10 hari, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan
Ramadhan. Bahkan beri'tikaf selama satu malam saja (tanpa siang harinya)
dibenarkan oleh syara'. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA :
أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ، قال : كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أعْتَكِفَ لَيْلَةًً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ : أَوْفِ بِنَذَرِكَ
"Bahwa Umar pernah bertanya kepada Nabi SAW,
Umar berkata,'Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri'tikaf
selama satu malam di Masjidil Haram.' Nabi SAW bersabda,'Penuhilah
nadzarmu!" (HR Bukhari, hadits no 2032, juga diriwayatkan
oleh Abu Dawud, an-Nasa`i, dan Ad-Daruquthni). (Mahmud
Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami' li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 298).
Dalil hadits di atas menunjukkan bahwa beri'tikaf
pada malam hari saja tanpa siangnya adalah boleh. Jadi, tidak ada dalil
yang mewajibkan bahwa i'tikaf harus sepuluh hari, baik di bulan Ramadhan
maupun di luar bulan Ramadhan.
Meski demikian, memang i'tikaf di masjid pada sepuluh
hari terakhir pada bulan Ramadhan adalah suatu ibadah yang afdhol
(lebih utama), dalam rangka untuk mencari Lailatul Qadar.
(Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna', 1/212; Zakariyya Al-Anshari,
Fathul Wahhab, 1/125). Hal itu dikarenakan Rasulullah SAW selalu
melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.
Diriwayatkan oleh 'A'isyah RA :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتى تَوَفَّاهُ اللهُ عَزّوجلّ ثُمَّ إعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدُ.
"Bahwasanya Nabi SAW selalu beri'tikaf pada
sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan Allah
Azza wa Jalla, kemudian isteri-isteri beliau beri'tikaf sesudah beliau
[meninggal]." (Muttafaq 'alaihi) (Imam Ash-Shan'ani, Subulus
Salam, 2/174).
Hadits 'A'isyah di atas dengan jelas menerangkan
bahwa Rasulullah SAW selalu beri'tikaf selama sepuluh hari terakhir pada
bulan Ramadhan. Namun, tidak berarti bahwa i'tikaf itu lamanya wajib
sepuluh hari, dalam arti tidak boleh kurang dari sepuluh hari. Sebab
dalil hadits Ibnu Umar di atas telah menunjukkan bolehnya beri'tikaf
selama satu malam saja.
Maka dari itu, yang perlu diketahui adalah berapa
tempo i'tikaf paling singkat yang dibolehkan syara'? Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini, yang rinciannya sebagai berikut :
Pertama, Ulama mazhab Hanafi (Hanafiyah)
berpendapat bahwa minimal tempo i'tikaf adalah "tempo yang singkat tanpa
batas tertentu" (muddatun yasiratun ghairu mahduudatin), tapi
cukup sekedar "berdiam diri" (al-lubtsu) disertai niat. (Maraqi
Al-Falah wa Nurul Idhah, hal. 119; dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695). Ada riwayat lain mengenai pendapat
ulama mazhab Hanafi, yakni minimal adalah satu hari (siang hari saja
tanpa malamnya) (yaumun). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami'
li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 299).
Kedua, Ulama mazhab Maliki (Malikiyah)
berpendapat tempo i'tikaf minimal adalah satu hari satu malam (yaumun
wa lailatun). Dan pendapat yang terpilih (ikhtiyar) menurut
ulama Malikiyah : i'tikaf itu hendaknya tidak kurang dari sepuluh hari. (Asy-Syarhul
Kabir, 1/541; Asy-Syarhush Shaghir, 1/725; dikutip oleh
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695).
Ketiga, Ulama mazhab Syafi'i (Syafi'iyah)
berpendapat tempo i'tikaf minimal adalah suatu kadar yang dapat disebut
"berdiam diri" (ukuuf / iqamah), yaitu lebih lama dari waktu
tumakninah dalam ruku' dan yang semisalnya (fauqa zaman
at-tuma`niinah fi ar-rukuu' wa nahwihi), dan tidak cukup disebut
i'tikaf kalau lamanya hanya selama waktu tumakninah. (Lihat Taqiyuddin
Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 1/215; Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna',
1/213; As-Sayyid Al-Bakri, I'anah Ath-Thalibin, 2/259; Zakariyya
Al-Anshari, Fathul Wahhab, 1/125).
Keempat, Ulama mazhab Hanbali (Hanabilah)
berpendapat tempo i'tikaf minimal adalah "sesaat" (saa'atun),
yaitu suatu kadar yang dapat disebut "berdiam diri" (mu'takifan
laabitsan) walaupan hanya sekejap (lahzhatan). (Kasysyaf
Al-Qana', 2/404; dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, 2/695).
Ringkasnya, pendapat jumhur (Hanafiyah, Syafi'iyah,
dan Hanabilah) menyatakan bahwa tempo i'tikaf minimal adalah "waktu yang
singkat" (muddatun yasiiratun). Sedang pendapat ulama mazhab
Maliki tempo i'tikaf minimal adalah satu hari satu malam (yaumun wa
lailatun). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu,
2/695; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami' li Ahkam Ash-Shiyam,
hal. 299-300; Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah
fi Ikhtilaf al-A`immah, hal. 71).
Menurut pentarjihan kami (wallahu a'lam), yang
lebih kuat (rajih) adalah pendapat jumhur. Hal ini dikarenakan
dalil-dalil tentang i'tikaf dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah
dalil-dalil yang bersifat mutlak, yakni mutlak dari segi tidak menyebut
batas tempo yang minimal untuk i'tikaf. Dengan kata lain, tidak terdapat
dalil yang membatasi (men-taqyid) bahwa tempo minimal i'tikaf
adalah satu hari satu malam (sebagaimana mazhab Maliki). (Mahmud Abdul
Lathif Uwaidhah, Al-Jami' li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 298).
Kaidah ushul dalam masalah ini menyatakan :
المطلق يجري على إطلاقه ما لم يرد دليل يدل على التقييد
Al-Mutlaqu yajriy 'ala ithlaaqihi maa lam
yarid daliilun yadullu 'alaa at-taqyiid
"Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya
selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian
batasan atau sifat tambahan)." (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh
Al-Islami, 1/208; Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal.
164).
Maka dari itu, berdasarkan pendapat jumhur, sah
hukumnya beri'tikaf selama waktu yang singkat yang dapat disebut
"berdiam diri" (al-lubstu), meski hanya sebentar saja. Dalam
mazhab Syafii bahkan diberi keterangan bahwa sah beri'tikaf walaupun
lamanya hanya sedikit lebih lama daripada waktu untuk tumakninah
(katakanlah 20 hingga 30 detik saja).
Namun demikian, kami menganjurkan agar dalam
beribadah kita berusaha bukan sekedar pada batas minimal, namun yang
lebih dari itu. Meski pada batas minimal itu sudah sah dan tidak
mengapa. Kaidah fiqih menyatakan :
ما كان أكثرَ فعلا كان أكثرَ فضلا
Maa kaana aktsaro fi'lan
kaana aktsaro fadhlan
"Suatu aktivitas yang lebih banyak perbuatannya,
lebih banyak pahalanya." (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa
An-Nazha`ir, Maktabah Syamilah, 1/257).
Berdasarkan kaidah itu, memisahkan shalat witir yang
tiga rakaat (yakni dua rakaat salam, ditambah satu rakaat salam), lebih
utama dari menggabungkannya (tiga rakaat sekali salam), dikarenakan
lebih banyak niat, takbir, dan salamnya; shalat sunnah dengan berdiri
lebih utama daripada dengan duduk; shalat dengan duduk lebih utama
daripada shalat dengan berbaring; dan seterusnya. Demikian pula, i'tikaf
satu jam lebih utama daripada i'tikaf seperempat jam, dan i'tikaf
sepuluh hari lebih utama daripada lima hari, dan seterusnya.
Kesimpulannya, tidak ada dalil yang mewajibkan bahwa
i'tikaf itu lamanya harus sepuluh hari. I'tikaf sah dilakukan walau
hanya sebentar saja, sesuai pendapat jumhur yang lebih kuat (rajih).
Namun syara' lebih menyukai agar kita melakukan ibadah dengan perbuatan
yang lebih banyak. Maka i'tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir
pada bulan Ramadhan adalah afdhol (lebih utama), dalam rangka
untuk mencari Lailatul Qadar. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar