Kamis, 15 September 2011

MAU UNTUNG TAPI TIDAK MAU MENANGGUNG RISIKO RUGI

MAU UNTUNG TAPI TIDAK MAU MENANGGUNG RISIKO RUGI

Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan dalil yang terkait dengan sikap dalam bisnis yang curang, yakni kalau untung dia dapat lebih besar, kalau rugi mitranya yang menanggung. (IN, Jakarta)
Jawab :
'A`isyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : al-kharaj bi adh-dhomaan. "Hak memperoleh keuntungan (pendapatan/manfaat) adalah imbangan dari liabilitas [kesediaan menanggung kerugian]." (HR Abu Dawud no 3044, At-Tirmidy no 1206, An-Nasa`i no 4414, Ibnu Majah no 2234, Ahmad no 24806). Hadis sahih (Lihat Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Irwa`ul Ghalil, hadis no 1446).
Para ulama menjelaskan maksud hadis ini dengan membuat permisalan contoh kasus, yaitu kasus pengembalian barang dagangan yang dikembalikan oleh pembeli kepada penjual karena ada cacat pada barang tersebut. Ketika barang dagangan itu masih di tangan pembeli (tapi belum dikembalikan kepada penjual) lalu menghasilkan suatu pendapatan/manfaat, siapakah yang berhak memiliki pendapatan/manfaat barang itu, penjual ataukah pembeli? Di sinilah hadis ini menunjukkan bahwa apa-apa yang keluar (kharaj) dari sesuatu barang yang telah dibeli, misalnya anak kambing dari kambing yang telah dibeli, atau jasa/pelayanan dari budak yang telah dibeli, atau buah dari pohon yang sudah dibeli, adalah hak bagi pihak pembeli (bukan hak penjual). Ini dikarenakan pembeli itulah yang bersedia menanggung kerugian (dhoman), misalnya risiko kerusakan/cacat/hilang pada barang yang sudah dibeli tersebut.(Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibnu Hazm, 2000], hal 1075, Aunul Ma'bud, Juz VIII, hal. 3, Imran Ahsan Khan Nyazee, Fikih Korporasi, [Surabaya : JP Books, 2008], hal. 75).
Dengan demikian, sikap seseorang yang hanya mau untung tapi tak mau menanggung kerugian –atau melemparkan tanggung jawab kerugian kepada pihak lain— amat bertentangan dengan prinsip umum al-kharaj bi al-dhaman di atas. Sebab prinsip ini menegaskan bahwa pihak yang berhak mendapatkan keuntungan hanyalah pihak yang siap menanggung kerugian. Inilah prinsip umum muamalah yang adil.
Selain itu, sikap tersebut juga bertentangan dengan kaidah hukum Islam (al-qawaid al fiqhiyyah, Islamic legal maxim) yang berbunyi : Al-Ghurmu bi al-ghunmi. "Kesediaan menanggung kerugian diimbangi dengan hak mendapatkan keuntungan." (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtisahdi fi al-Islam, hal. 190; lihat juga kaidah ini dalam kitab-kitab ushul fiqih seperti : Kasyful Asrar, Juz III hal. 155, Syarah At-Talwih 'Ala Al-Taudhih, Juz II hal. 391, Al-Mantsur fi Al-Qawaid, Juz II hal. 111, At-Taqrir wa At-Tahbir, Juz III hal. 497, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, Juz I hal. 244)
Kaidah hukum Islam ini pengertiannya sama dengan hadis yang diuraikan sebelumnya, yaitu hanya mereka yang mau menanggung kerugian sajalah yang berhak mendapatkan keuntungan.
Maka dari itu, sikap seseorang yang hanya mau untung tapi tak mau menanggung kerugian (atau memikulkan kerugian kepada pihak lain) adalah sikap yang diharamkan menurut ajaran Islam. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: