Amalan Sunnah Bulan Sya’ban
Bahasan kali ini akan mengupas apa saja amalan sunnah
dibulan sya’ban dan penjelasan bahwa bagaimana peringatan malam nishfu sya’ban
yang tidak ada contoh dari Nabi SAW. Perselisihan dalil peringatan malam nishfu
sya’ban antara shahih?lemah? atau palsu? insyallah dikupas dengan hikmah dan
ilmiah. Kita simak sama-sama serba serbi bulan sya’ban berikut. Semoga mendapat
pencerahan yang shahih.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para
sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, saat ini kita telah menginjak bulan Sya’ban. Namun kadang kaum
muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga
terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang
sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas
serba-serbi bulan Sya’ban. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong
dan mudahkanlah kami).
Keutamaan Bulan Sya’ban
Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai
Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari
bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Bulan Sya’ban
adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan
Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada
Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa
ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan). Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas
terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia
lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif,
235)
Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban
Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini
yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa
wajib di bulan Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
mengatakan,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau
tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak
berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan.
Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa
di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari
bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan
Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
mengatakan,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau
berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan
Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan
An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu
sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa
dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu”
(seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya,
sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan
bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu
bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author,
7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa
di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak puasa penuh di bulan Sya’ban? An Nawawi rahimahullah menuturkan
bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak
disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ” (Syarh Muslim, 4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah
ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana
shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi
shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa
di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki
keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan.
(Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:
- Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
- Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita
mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini
kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi
berikut.
“Dan senantiasa
hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada
pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya
yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan
jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari
no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan
mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran,
penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini
keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul Qowil
Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)
Malam Nishfu Sya’ban, Malam Diturunkannya Al Qur’an (?)
Di antara kaum muslimin ada yang menganggap bahwa malam
Nishfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah malam yang istimewa. Di
antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut adalah malam diturunkannya
Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah tatkala beliau menjelaskan
maksud firman Allah,
“Sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang
memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Qs. Ad
Dukhan: 3-4)
Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat ini
adalah malam Lailatul Qadar, menurut mayoritas ulama. Sedangkan ‘Ikrimah
–semoga Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat
bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul Maysir, 5/346)
Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun
pada malam Nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut
telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu
masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,
“(Beberapa hari
yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur’an.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Dan dijelaskan pula dengan firman Allah,
“Sesungguhnya Kami
telah menurunkannya (Al Qur’an) pada Lailatul Qadr.” (Qs. Al Qadr: 1)
Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah
mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah (pada surat Ad
Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban –sebagaimana yang diriwayatkan
dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan lagi bahwasanya itu adalah klaim
yang jelas keliru yang menyelisihi dalil tegas dari Al Qur’an. Dan tidak
diragukan lagi bahwa apa saja yang menyelisihi al haq (kebenaran) itulah kebatilan.
Sedangkan berbagai hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan malam
tersebut adalah malam Nishfu Sya’ban, itu jelas-jelas telah menyelisihi dalil
Al Qur’an yang tegas dan hadits tersebut sungguh tidak berdasar. Begitu pula
sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sebagaimana ditegaskan oleh
Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits lainnya. Sungguh sangat mengherankan, ada
seorang muslim yang menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas, padahal dia sendiri
tidak memiliki sandaran dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul
Bayan, 1552)
Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a
(?)
Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk
menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di
masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita
Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid
pada malam Nishfu
Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk
menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat
bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap
tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).
Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban
dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan
dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak
melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi
Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah-
mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca:
bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas
ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut:
Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang
menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan,
“Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in
yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah
Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu
Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran.
Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu
sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana
hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20).
Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan
dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits
yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban,
tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang
lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)
Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan
malam Nishfu Sya’ban dan menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang
menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat.
Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil
untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban,
sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin
hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al
Bida’ Al Hawliyah, 296)
Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat
bahwa tidak terlarang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian
sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang
hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari
alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim
no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas
dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al
Hawliyah, 296-297)
Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Janganlah
mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah
mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim
no. 1144)
Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk
ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya.
Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at
adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari
yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim).
Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan
mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal
ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh
dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang
mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan,
“Seandainya malam Nishfu Sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau
malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah
lainnya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi
petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya.
Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu
‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak
mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah
sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian
setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah
mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil
yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat
yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan
malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai
perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At
Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum
muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini. [Silakan lihat penilaian
kelemahan beberapa hadits mengenai malam Nishfu Sya'ban di akhir pembahasan
ini]
Adapun mengenai Shalat Alfiyah, apakah shalat ini adalah
suatu amalan yang dituntukan ketika malam Nishfu Sya’ban?
Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan
shalat ini pada malam Nishfu Sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Babin
Abul Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki
bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam Nishfu Sya’ban dia melaksanakan
shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang
pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu
akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika datang tahun
berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam Nishfu Sya’ban.
Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di
rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah
Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)
Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah
berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut
dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100
raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi
total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu,
dinamakanlah shalat alfiyah.
Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan
pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana
yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan
Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan
keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut adalah
hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul
(tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena
itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at,
2/127-130)
Puasa Setelah Pertengahan Sya’ban
Ada beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa
setelah pertengahan bulan Sya’ban.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Jika tersisa
separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no.
2337)
Dalam lafazh lain,
“Jika tersisa
separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu
Majah no. 1651)
Dalam lafazh yang lain lagi,
“Jika tersisa
separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga datang bulan
Ramadhan.” (HR. Ahmad)
Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai
hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.
Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah
At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di
antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut
adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang
lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdurrahman bin
Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah
karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,
“Janganlah
mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim
no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum
ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.
Al Atsrom mengatakan, “Hadits larangan berpuasa setelah
separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya
(mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan
hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari
sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz,
bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”
At Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan
berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus).
Bahkan Ath Thohawiy menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama)
untuk tidak beramal dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak
mengamalkan hadits tersebut.
Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama
Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari
Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan
Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu.
Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh
berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif,
244-245)
Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Janganlah
mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika
seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim
no. 1082)
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah,
berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:
Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam
perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti
ini jelas terlarang.
Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho
puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka
mayoritas ulama membolehkannya.
Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama
yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang
hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al
Hasan Al Bashri. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa
yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits.
Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa
–seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang
terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan
Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)
Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari
sebelum Ramadhan?
Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum
Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak
menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan.
Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa
sunnah. Dan memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang
disyariatkan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
menyambungkan shalat wajib dengan shalat sunnah tanpa diselangi dengan salam
atau dzikir terlebih dahulu. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)
Beberapa Hadits Lemah (Dho’if) dan Palsu (Maudhu’) di
Bulan Sya’ban
[Hadits Pertama]
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan
mengampuni dosa walaupun itu lebih banyak dari jumlah bulu yang ada di
kambing Bani Kalb.” [Bani Kalb adalah salah satu kabilah di Arab yang punya
banyak kambing]
Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Ibnu Majah.
At Tirmidzi mengatakan bahwa beliau mendengar Muhammad (yaitu Imam Bukhari)
mendhoifkan hadits ini. (Lihat As Silsilah Ash Shohihah, no. 1144)
[Hadits Kedua]
“Apabila datang
malam nishfu sya’ban, maka hidupkanlah malam tersebut dan berpuasalah di siang
harinya. Karena ketika itu, Allah turun ke langit dunia pada malam tersebut
mulai dari tenggelamnya matahari. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapa
saja yang meminta ampunan, Aku akan mengampuninya. Siapa saja yang meminta
rizki, aku pun akan memberinya. Siapa saja yang tertimpa kesulitan, Aku pun
akan membebaskannya. Siapa pun yang meminta sesuatu, Aku akan mengabulkannya
hingga terbit fajar”.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Sanad hadits ini
adalah lemah, bahkan menurut Syeikh Al Albani adalah maudhu’ (palsu)
karena di dalamnya terdapat perowi yang bernama Ibnu Abi Sabroh yang tertuduh
sering memalsukan hadits sebagaimana dikatakan dalam At Taqrib. Imam
Ahmad bin Hambal dan Ibnu Ma’in juga berpendapat demikian yaitu Ibnu Abi Basroh
sering memalsukan hadits. Sehingga Syeikh Al Albani berkesimpulan bahwa sanad
hadits ini maudhu’ (palsu). (Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah, no.
2132)
[Hadits Ketiga]
“Rajab adalah
syahrullah (bulan Allah), Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan
ummatku.”
Dalam Al Jami’ Ash Shogir (6839), Syeikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[Hadits Keempat]
“Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 12 raka’at, setiap
raka’atnya membaca surat “Qul huwallahu ahad” sebanyak tiga kali, maka dia
tidaklah akan keluar sampai dia melihat tempat duduknya di surga …”
Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)
Hadits ini dibawakan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy mengatakan bahwa hadits di atas adalah hadits maudhu’ (palsu) dan di dalamnya banyak perowi yang majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Maudhu’at, 2/129)
Demikian pembahasan kami mengenai panduan amalan di bulan
Sya’ban. Semoga apa yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi kaum muslimin
sekalian. Semoga Allah selalu memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat,
rizki yang thayib dan amalan yang diterima. Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar