MENJADIKAN BARANG YANG DIBELI SEBAGAI JAMINAN, BOLEHKAH?
Ustadz, bolehkah barang yang kita beli
dijadikan jaminan? Misal, kita kredit motor lalu BPKB motor itu kita
jadikan jaminan kepada penjual (dealer)? (Dewi, Malang)
Jawab:
Dalam jual beli kredit (bai’u at-taqsith)
penjual boleh mensyaratkan jaminan/agunan (rahn) dari pembeli.
(Adnan Sa’duddin, Bai’u At-Taqsith wa Tathbiqatuha al-Mu’ashirah,
hal. 187). Namun jaminan ini wajib berupa barang lain, yaitu bukan
barang objek jual beli. Karena menjadikan barang yang dibeli sebagai
jaminan (rahn al-mabii’) tidak boleh secara syar’i.
Inilah pendapat fuqaha yang rajih menurut kami. Imam
Syafi’i, seperti dikutip Imam Ibnu Qudamah, menyatakan jika dua orang
berjual beli dengan syarat menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan
atas harganya, jual belinya tidak sah. Sebab jika barang yang dibeli
dijadikan jaminan (rahn), berarti barang itu belum menjadi milik
pembeli. (Al-Mughni, 4/285).
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,"Tidak boleh jual
beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli." (Al-Fatawa
al-Fiqhiyah al-Kubra, 2/287).
Imam Ibnu Hazm berkata,"Tidak boleh menjual suatu
barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas
harganya. Kalau jual beli sudah terlanjur terjadi, harus dibatalkan." (Al-Muhalla,
3/427).
Memang ada fuqaha yang membolehkan. Kata Imam Ibnu
Qudamah,"Menurut Imam Ahmad, jaminan berupa barang yang dibeli sah." (Al-Mughni,
4/285; Al-Fiqh ‘ala Al-Mazhahib al-Arba’ah, 2/166). Imam Ibnul
Qayyim berkata,"Boleh mensyaratkan jaminan berupa barang yang dibeli." (Ighatsah
al-Lahfan, 2/53; I’lam al-Muwaqqi’in, 4/33).
Pendapat inilah yang diadopsi Majma’ Al-Fiqh
Al-Islami bahwa,"Penjual tidak berhak mempertahankan kepemilikan
barang di tangannya, tapi penjual boleh mensyaratkan pembeli untuk
menjaminkan barang yang dibeli guna menjamin hak penjual memperoleh
pembayaran angsuran yang tertunda." (Ali as-Salus, Al-Qadhaya
al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 605).
Namun menurut kami, pendapat ini tidak dapat
diterima. Karena menjaminkan barang objek jual beli adalah syarat yang
menyalahi konsekuensi akad (muqtadha al-‘aqad), yakni hak
kepemilikan dan melakukan tasharruf (perbuatan hukum) seperti
jual beli atau hibah oleh pembeli. Imam Taqiyudin an-Nabhani
berkata,"Jika seseorang menjual suatu barang kepada orang lain, lalu
mensyaratkan orang itu untuk tidak menjualnya kepada siapa pun, maka
syarat itu tidak berlaku tapi jual belinya sah, karena syarat itu
menafikan konsekuensi akad (muqtadha al-‘aqad), yakni kepemilikan
barang dan melakukan tasharruf padanya." (al-Syakhshiyah
al-Islamiyah, 3/52).
Syarat yang menyalahi hukum syara’ tidak dapat
diterima, karena sabda Nabi SAW,"Syarat apa saja yang tidak ada dalam
Kitabullah, maka ia batil, meski ada seratus syarat." (HR Bukhari
dan Muslim). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/10).
Selain itu, syarat itu tertolak berdasar kaidah fiqih
: Kullu syarthin khaalafa aw nafaa muqtadha al-‘aqad fahuwa baathil
(Setiap syarat yang menyalahi atau meniadakan konsekuensi akad, adalah
syarat yang batal). (M. Sa’id al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, 8/418).
Kesimpulannya, tidak boleh menjadikan barang yang
dibeli sebagai jaminan dalam jual beli kredit. Yang dibolehkan adalah
jaminan berupa barang lain, bukan barang objek jual beli. Wallahu
a’lam.
Yogyakarta, 27 Mei 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar