HUKUM ARAH KIBLAT
Ustadz, benarkah arah kiblat telah bergeser?
Sahkah sholat kita sementara kita belum tahu pergeseran arah kiblat itu?
(Sukiyono, Pekanbaru)
Jawab :
Memang terjadi pergeseran arah kiblat akibat
pergeseran lempeng bumi, tapi itu kecil sekali sehingga dapat diabaikan.
Pergeseran arah kiblat hingga 30 cm ke arah kanan seperti diberitakan,
menurut pakar astronomi ITB Dr. Moedji Raharto, hanya mengubah arah
kiblat kurang dari sepersejuta derajat saja. Jadi tidak mengubah arah
kiblat masjid atau arah kiblat kita saat shalat di luar masjid.
Namun harus diakui banyak masjid yang arah kiblatnya
kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah kiblat, melainkan karena
penentuan arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak akurat, atau
sekedar mengikuti arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang
akurat.
Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal
al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
hal. 51; Muhammad al-Mas’udi, Al-Ka’bah al-Musyarrafah Adabuha wa
Ahkamuha, hal. 41). Imam Ibnu Hazm berkata,"Para ulama sepakat
menghadap kiblat wajib bagi yang melihat ka’bah atau yang mengetahui
petunjuk-petunjuk arah kiblat, selama ia bukan orang yang berperang (muharib)
atau orang yang sedang ketakutan (kha`if) [karena perang]." (Maratibul
Ijma’, hal. 11).
Kewajiban menghadap kiblat dalilnya firman Allah
(artinya),"Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS
Al-Baqarah : 144). Dalil as-Sunnah sabda Nabi SAW,"Jika kamu berdiri
hendak shalat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan
bertakbirlah." (HR Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,"Hadis
ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada shalat
wajib. Ini merupakan ijma’ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang
sangat [karena perang]." (Fathul Bari, 1/501).
Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, arah kiblatnya
adalah bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah) itu sendiri. Dalilnya
firman Allah SWT (artinya) : "Dan dari mana saja kamu keluar, maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS al-Baqarah : 149).
Imam Qurthubi berkata,"Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat
Ka’bah." (Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafi’i berkata,"Orang
Makkah yang dapat melihat Ka’bah, harus tepat menghadap ke bangunan
Ka’bah (‘ainul bait)." (Al-Umm, 1/114).
Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah
(‘ainul ka’bah), yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihatul
ka’bah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Ka’bah. Inilah
pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i (dalam salah satu
riwayat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 366).
Dalilnya sabda Nabi SAW,"Apa yang ada di antara
timur dan barat adalah kiblat." (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam
Shan’ani menjelaskan,"Hadis ini menunjukkan yang wajib adalah menghadap
arah Ka’bah (jihatul ka’bah), bukan menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul
ka’bah), yakni bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan
Ka’bah." (Subulus Salam, 1/134).
Dengan demikian, bagi penduduk Indonesia yang berada
di sebelah timur Masjidil Haram, pada dasarnya cukup menghadap arah
Ka’bah (jihat ka’bah), yaitu ke arah Barat. Menurut kami ini
sudah cukup dan sudah sah shalatnya. Kalaupun melenceng beberapa
derajat, menurut kami itu dapat dimaafkan, selama masih mengarah ke
Barat. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya
hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu
itu). (M. Said al-Burnu, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 9/252).
Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 25 April 2010
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar