Shalat dan Kekuatan Iman
Maasyiral muslimin rakhimakumullah!
Dalam sebuah riwayat, amirul mukminin
Umar bin Khattab r.a., berkata, “Tatkala sepuluh ayat pertama dari surah
Al-Mukminun turun, Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya ke langit
seraya berdoa, ‘Ya Allah, tambahilah kami dan jangan kurangi kami,
muliakan kami dan jangan hinakan kami, berilah kami dan jangan halangi
kami, utamakan kami dan jangan utamakan yang lain mendahului kami, dan
jadikanlah supaya kami rida kepada-Mu dan Engkau rida kepada kami.’
Setelah itu, beliau menghadap para sahabat dan berkata, ‘Allah telah
menurunkan sepuluh ayat, barang siapa yang beramal dengannya maka Allah
akan memasukkannya ke surga Firdaus yang tinggi’.”
Maasyiral muslimin rakhimakumullah!
Sepuluh ayat itu adalah, “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu
dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat,
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang
memelihara salatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
(yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. “
Dan, marilah kita sejenak menyelami ayat
tersebut beserta para pemilik keimanan yang dijanjikan Allah meraih
kesuksesan, kebaikan, dan keberhasilan. Mereka adalah orang yang menang,
beruntung, dan berbahagia. Mereka adalah orang yang beriman kepada
Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir serta qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk.
Maasyiral muslimin rakhimakumullah!
Suatu hari, Rasulullah saw. memasuki sekumpulan sahabat, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Apakah kalian orang yang beriman?” Umar menjawab, “Ya, kami adalah orang yang beriman wahai Rasulullah.” Kemudian beliau bertanya, “Apa tanda keimanan kalian?” Umar menjawab, “Kami bersabar terhadap cobaan, rida dengan qadha, dan bersyukur terhadap kelapangan hidup. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Kalian adalah orang yang beriman. Demi pemilik Kakbah, iman adalah sabar, syukur dan rida.”
Dalam sebuah hadis qudsi Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Apabila
Aku menguji hamba-Ku pada harta atau anak atau jiwanya, kemudian ia
menerima dengan kesabaran yang baik, maka pada hari kiamat Aku merasa
malu darinya untuk memberikan timbangan atau membentangkan pengadilan
kepadanya, kemudian Aku akan memasukkannya ke janah tanpa hisab. Demi
izah-Ku dan kebesaran-Ku Aku tidak akan mengeluarkan seorang hamba dari
dunia ini dan Aku senang menyayanginya, sehingga Aku akan penuhi segala
keburukan yang telah diperbuatnya dengan penyakit di badan atau
kesempitan rezeki atau musibah harta atau anaknya meskipun keburukan itu
sebesar biji atom. Seandainya kejelekan itu masih tersisa, maka akan
Aku keraskan sakratul mautnya sehingga ia menjumpai-Ku seperti hari
ketika ia dilahirkan ibunya.”
Maasyiral muslimin rakhimakumullah!
Mungkin kita masih teringat dengan Urwah
bin Zubeir yang betisnya terkena pedang tajam, lalu para tabib berkata
kepadanya, “Tidak ada cara untuk mengobati, kecuali dengan memotongnya,”
Lantas apakah yang akan dilakukan Urwah? Ia tengah berhadapan dengan
ketentuan Allah dan tidak ada cara untuk menghindari, kecuali hanya
dengan kesabaran.
Tabib lalu menyarankan agar Urwah
menggunakan sesuatu yang bisa menghilangkan rasa sakit tatkala betisnya
dipotong, tetapi apa jawab Urwah? Ia berkata, “Demi Allah, saya tidak
akan menggunakan sesuatu yang menghalangi akalku berzikir kepada Allah
Tabaraka wa Ta’ala. Urwah lalu berkata kepada para Tabib, “Bila saya
telah menjalankan salat kemudian saya sudah dalam kondisi duduk untuk
membaca dan bertasyahud, potonglah betisku karena sesungguhnya saat itu
saya merasa berada di hadapan Allah, tidak ada dalam hatiku, kecuali
Allah Tabaraka wa Ta’ala. Urwah kemudian melaksanakan salat dan salatnya
merupakan contoh yang istimewa.”
Imam Hatim al-Ashim suatu hari ditanya,
“Bagaimana kondisimu ketika engkau melaksanakan salat, wahai Hatim?” Ia
menjawab, “Ketika saya melaksanakan salat, saya jadikan Kakbah ada di
hadapanku, kematian di belakanku, ash-Shirath di bawah dua telapak kakiku, jannah
di sebelah kananku, neraka ada disebelah kiriku dan saya merasa Allah
mengawasiku, lalu saya sempurnakan ruku dan sujudnya, kemudian bila saya
telah mengucapkan salam saya tidak mengetahui apakah Allah akan
menerima atau menolaknya.”
Dalam sebuah riwayat, seorang wanita
datang menjumpai Musa a.s. seraya berkata, “Saya telah melakukan dosa
besar, maka adakah pintu tobat untukku?” Musa lalu bertanya, “Apa dosamu
wahai hamba Allah?” Ia menjawab, “Saya telah berzina dan melahirkan
anak, lalu anak itu saya bunuh.” Musa berkata, “Pergilah engkau dari
sisiku, saya takut azab Allah akan menimpaku lantara dosamu. Maka,
wanita itu pergi meninggalkan Musa dengan menangis dan kondisi yang
menyedihkan. Setelah wanita keluar, turunlah wahyu kepada Musa melalui
Jibril, “Wahai Musa, Allah Ta’ala berfirman kepadamu, ‘Apakah engkau
menolaknya, padahal ia ingin bertaubat? Apakah kamu tidak mengetahui
dosa yang lebih besar daripada itu’?” Musa bertanya, “Apakah dosa yang lebih besar daripada itu?” Jibril menjawab, “Orang yang meninggalkan salat dengan sengaja.”
Maasyiral muslimin rakhimakumullah!
Di tengah-tengah kita ada seorang muslim
yang tidak masuk masjid, kecuali pada hari besar, bulan Ramadan ataupun
hari Jumat. Bahkan, ada muslim yang selama hidupnya tidak pernah
mrmasuki masjid, kecuali hanya sekali saja, yaitu saat ia akan
dikuburkan. Ia masuk masjid bukan untuk salat, tetapi untuk disalatkan.
Allah lalu berfirman yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang khusyu dalam salatnya.” Maksud
ayat ini adalah mereka memasuki salat sebagaimana manusia memasukkan
pakaian ke dalam tubuhnya. Bila baju itu akan melindungi pemakainya dari
panas dan dingin, salat akan melindungi pemiliknya dari azab jahannam.
Khusyu adalah datangnya hati dan tenangnya anggota tubuh. Aisyah r.a.
berkata, “Adalah Rasulullah saw. menceritakan kepada kami dan kami pun
bercerita kepadanya, beliau berkata kepada kami dan kami pun berkata
kepadanya. Apabila tiba waktu salat, beliau seakan tidak mengenali kami
dan kami pun tidak mengenalinya. Itulah khusyu wahai hamba Allah.”
Marilah kita kembali kepada kisah Urwah
di atas. Para tabib berkata kepadanya, “Bagaimana kami akan memotong
betismu wahai Urwah?” Ia menjawab, “Apabila saya memulai salat.”
Salatlah Urwah dan ia membentangkan betisnya, sedang dia dalam keadaan
duduk membaca tasyahud, dan setelah mengucapkan dua salam, ia menanyakan
kondisinya, “Apakah kalian telah selesai memotong?’ Mereka menjawab,
“Ya.” Mereka lalu membawa Urwah ke rumahnya sementara darah masih
menetes dari betisnya. Sesampai di rumah, Urwah lalu memanggil
anak-anaknya, tetapi yang datang hanya seorang. Lalu, ia bertanya, “Apa
yang terjadi?” Mereka menjawab, “Semoga Allah membesarkan pahalamu wahai
Urwah, anakmu yang besar meninggal.” Lalu, Urwah bertanya, “Apa yang
terjadi?” Lihatlah kepada kekuatan iman, bagaimana ia membuat keajaiban,
mendatangkan mukjizat dan menggerakkan gunung. Urwah berkata, “Apakah
ia menampar pipi, merobek saku, menyeru dengan seruan jahiliyah, ataukah
berkata dengan sebuah ucapan yang menyebabkan Allah Ta’ala marah
kepada-Nya?”
Betis di hadapannya belum pula dikafani
dan dikuburkan, darahnya juga masih mengalir, tetapi apa yang
dikatakannya? Ia menghadap kepada Allah, lalu berkata, “Wahai Rab,
Engkau telah memberiku rezeki dua orang anak dan kini Engkau telah
mengambil salah satunya dan meninggalkan yang satu. Maka, segala puji
untuk-Mu atas apa yang telah engkau ambil dan segala syukur untukmu atas
apa yang engkau tinggalkan. Engkau telah memberiku dua betis, satu
telah Engkau ambil dan satu engkau sisakan. Maka, segala puji untukmu
atas apa yang Engkau ambil dan segala syukur untukmu atas apa yang
engkau tinggalkan. Kemudian, ia mengambil betis yang telah dipotong dan
dipandanginya.” Lalu, ia berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah, sesungguhnya saya tidak berjalan denganmu ke tempat yang dimurkai
Allah.”
Inilah iman, inilah penyerahan kepada
Allah Yang Maha Esa. Beginilah nabi kita mengajari kita untuk bersabar
terhadap musibah, bersabar ketika mendapat kesulitan. Kita sangat
membutuhkan untuk mencontoh Rasulullah saw. dan para sahabatnya karena
mereka adalah teladan. Maha benar Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan
firmannya, “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada
teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala)
Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Dan barangsiapa yang
berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi
terpuji.”
Ya Allah, kepadamulah kami bertawakal.
Kepadamulah kami kembali, dan Engkaulah tempat kembali. Ya Allah,
janganlah engkau jadikan kami fitnah atas orang-orang kafir, ampunilah
kami, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana. Wallahu
a’lam. (Anam).
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar