Ma’rifatur Qur’an
بسم الله الرحمن الرحيمMA’RIFATUL QUR’AN
معرفة القرآن
Muqadimah
Ketika manusia mencoba mengupas keagungan Al-Qur’an
Al-Karim, maka ketika itu pulalah manusia harus tunduk mengakui
keagungaan dan kebesaran Allah SWT. Karena dalam Al-Qur’an terdapat
lautan makna yang tiada batas, lautan keindahan bahasa yang tiada dapat
dilukiskan oleh kata-kata, lautan keilmuan yang belum terfikirkan dalam
jiwa manusia dan berbagai lautan-lautan lainnya yang tidak terbayangkan
oleh indra kita. Oleh karenanya,
mereka-mereka yang telah dapat berinteraksi dengan Al-Qur’an sepenuh
hati, dapat merasakan ‘getaran keagungan’ yang tiada bandingannya.
Mereka dapat merasakan sebuah keindahan yang tidak terhingga, yang dapat
menjadikan orientasi dunia sebagai sesuatu yang teramat kecil dan
sangat kecil sekali. Sayid Qutub, di dalam muqadimah Fi Dzilalil
Qur’annya mengungkapkan:
الحياة في ظلال القرآن نعمة . نعمة لا يعرفها إلا من ذاقها . نعمة ترفع العمر وتباركه وتزكيه .
والحمد لله . . لقد منَّ علي بالحياة في ظلال القرآن فترة من الزمان ، ذقت فيها من نعمته ما لم أذق قط في حياتي .
والحمد لله . . لقد منَّ علي بالحياة في ظلال القرآن فترة من الزمان ، ذقت فيها من نعمته ما لم أذق قط في حياتي .
Hidup di bawah naungan Al-Qur’am merupakan suatu
kenikmatan. Kenikmatan yang tiada dapat dirasakan, kecuali hanya oleh
mereka yang benar-benar telah merasakannya. Suatu kenikmatan yang
mengangkat jiwa, memberikan keberkahan dan mensucikannya…. Dan
Al-Hamdulillah… Allah telah memberikan kenikmatan pada diriku untuk
hidup di bawah naungan Al-Qur’an beberapa saat dalam perputaran zaman.
Di situ aku dapat merasakan sebuah kenikmatan yang benar-benar belum
pernah aku rasakan sebelumnya sama sekali dalam hidupku.
Cukuplah menjadi bukti keindahan bahasa Al-Qur’an,
manakala diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Imam Zuhri (Abu Syahbah, 1996
: I/312):
Bahwa suatu ketika, Abu Jahal, Abu Lahab dan Akhnas
bin Syariq, yang secara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah Rasulullah
SAW pada malam hari untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang
dibaca oleh Rasulullah SAW dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki
posisi yang tersendiri, yang tidak diketahui oleh yang lainnya. Hingga
ketika Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki
satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela, dan membuat
kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah SAW. Namun
pada melam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa menahan
gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat tersebut. Mereka
bertiga mengira bahwa yang lainnya tidak akan datang ke rumah Rasulullah
SAW, dan mereka pun menempati posisi mereka masing-masing. Ketika
Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka pun memergoki yang
lainnya di jalan. Dan terjadilah saling celaan sebagaimana yang kemarin
mereka ucapkan. Kemudian pada malam berikutnya, gejolak jiwa mereka
benar-benar tidak dapat dibendung lagi untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan
merekapun menempati posisi sebagaimana hari sebelumnya. Dana manakala
Rasulullah SAW usai melaksanakan shalat, mereka bertiga kembali
memergoki yang lainnya. Akhirnya mereka bertiga membuat ‘mu’ahadah’
(perjanjian) untuk sama-sama tidak kembali ke rumah Rasulullah SAW guna
mendengarkan Al-Qur’an.
Masing-masing mereka mengakui keindahan Al-Qur’an,
namun hawa nafsu mereka memungkiri kenabian Muhammad SAW. Selain contoh
di atas terdapat juga ayat yang mengungkapkan keindahan Al-Qur’an. Allah
mengatakan (QS. 58 : 21):
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا
مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada
sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah
disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat
untuk manusia supaya mereka berfikir.
Ta’rif.
Dari segi bahasa, Al-Qur’an berasal dari qara’a, yang
berarti menghimpun dan menyatukan. Sedangkan Qira’ah berarti menghimpun
huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang lainnya dengan susunan
yang rapih. (Al-Qattan, 1995 : 20) Mengenai hal ini, Allah berfirman
(QS. 75 : 17):
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ * فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ *
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ * فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ *
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”
Al-Qur’an juga dapat berarti bacaan, sebagai masdar dari kata qara’a. Dalam arti seperti ini, Allah SWT mengatakan (QS. 41 : 3):
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.”
Adapun dari segi istilahnya, Al-Qur’an adalah:
كَلاَمُ اللهِ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتِرِ الْمُتَعَبَّدُ
بِتِلاَوَتِهِ
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang merupakan mu’jizat
yang ditunukan kepada nabi Muhammad SAW, yang disampaikan kepada kita
secara mutawatir dan dijadikan membacanya sebagai ibadah.
Keterangan dari defini di atas adalah sebagai berikut:1. (كلام الله) Kalam Allah.
Bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang Allah
ucapkan kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan malaikat Jibril as.
Firman Allah merupakan kalam (perkataan), yang tentu saja tetap berbeda
dengan kalam manusia, kalam hewan ataupun kalam para malaikat.
Allah berfirman (QS. 53 : 4) :
إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
2. (المعجز) Mu’jizat.
Allah berfirman (QS. 53 : 4) :
إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Kemu’jizaan Al-Qur’an merupakan suatu hal yang sudah
terbukti dari semejak zaman Rasulullah SAW hingga zaman kita dan hingga
akhir zaman kelak. Dari segi susunan bahasanya, sejak dahulu hingga
kini, Al-Qur’an dijadikan rujukan oleh para pakar-pakar bahasa. Dari
segi isi kandungannya, Al-Qur’an juga sudah menunjukkan mu’jizat,
mencakup bidang ilmu alam, matematika, astronomi bahkan juga ‘prediksi’
(sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Rum mengenai bangsa Romawi
yang mendapatkan kemenangan setelah kekalahan), dsb. Salah satu bukti
bahwa Al-Qur’an itu merupakan mu’jizat adalah bahwa Al-Qur’an sejak
diturunkan senantiasa memberikan tantangan kepada umat manusia untuk
membuat semisal ‘Al-Qur’an tandingan’, jika mereka memiliki keraguan
bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah. Allah SWT berfirman (QS. 2 : 23 –
24):
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا
بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ* فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا
النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ
لِلْكَافِرِينَ*
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al
Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak
dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya),
peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,
yang disediakan bagi orang-orang kafir.”
Bahkan dalam ayat lainnya, Allah menantang
mereka-mereka yang ingkar terhadap Al-Qur’an untuk membuat semisal
Al-Qur’an, meskipun mereka mengumpulkan seluruh umat manusia dan seluruh
bangsa jin sekaligus (QS. 17 : 88):
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak
akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
3. (المنزل على قلب محمد صلى الله عليه وسلم) Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah SWT
langsung kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan malaikat Jibril as.
Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an (QS. 26 : 192 – 195)
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ* نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ
الأَمِينُ* عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ بِلِسَانٍ
عَرَبِيٍّ مُبِينٍ *
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin
(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di
antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang
jelas.”
4. (المنقول بالتواتر) Diriwayatkan secara mutawatir.
Setelah Rasulullah SAW mendapatkan wahyu dari Allah
SWT, beliau langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabatnya.
Diantara mereka terdapat beberapa orang sahabat yang secara khusus
mendapatkan tugas dari Rasulullah SAW untuk menuliskan wahyu. Terkadang
Al-Qur’an ditulis di pelepah korma, di tulang-tulang, kulit hewan, dan
sebagainya. Diantara yang terkenal sebagai penulis Al-Qur’an adalah: Ali
bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubai ibn Ka’b dan Zaid bin Tsabit.
Demikianlah, para sahabat yang lain pun banyak yang menulis Al-Qur’an
meskipun tidak mendapatkan instruksi secara langsung dari Rasulullah
SAW. Namun pada masa Rasulullah SAW ini, Al-Qur’an belum terkumpulkan
dalam satu mushaf sebagaimana yang ada pada saat ini.
Pengumpulan Al-Qur’an pertama kali dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Shidiq, atas usulan Umar bin Khatab yang khawatir akan hilangnya Al-Qur’an, karena banyak para sahabat dan qari’ yang gugur dalam peperangan Yamamah. Tercatat dalam peperangan ini, terdapat tiga puluh sahabat yang syahid. Mulanya Abu Bakar menolak, namun setelah mendapat penjelasan dari Umar, beliaupun mau melaksanakannya. Mereka berdua menunjuk Zaid bin Tsabit, karena Zaid merupakan orang terakhir kali membacakan Al-Qur’an di hadapan Rasulullah SAW sebelum beliau wafat. Pada mulanya pun Zaid menolak, namun setelah mendapatkan penjelasan dari Abu Bakar dan Umar, Allah pun membukakan pintu hatinya. Setelah ditulis, Mushaf ini dipegang oleh Abu Bakar, kemudian pindah ke Umar, lalu pindah lagi ke tangan Hafshah binti Umar. Kemudian pada masa Utsman bin Affan ra, beliau memintanya dari tangan Hafsah. (Al-Qatthan, 1995 : 125 – 126).
Kemudian pada Utsman bin Affan, para sahabat banyak yang berselisih pendapat mengenai bacaan (baca; qiraat) dalam Al-Qur’an. Apalagi pada masa beliau kekuasan kaum muslimin telah menyebar sedemikian luasnya. Sementara para sahabat terpencar-pencar di berbagai daerah, yang masing-masing memiliki bacaan/ qiraat yang berbeda dengan qiraat sahabat lainnya. (Qiraat sab’ah). Kondisi seperti ini membuat suasana kehidupan kaum muslimin menjadi sarat dengan perselisihan, yang dikhawatirkan mengarah pada perpecahan. Pada saat itulah, Hudzifah bin al-Yaman melaporkan ke Utsman bin Affan, dan disepakati oleh para sahabat untuk mrnyslin mushaf Abu Bakar dengan bacaan/ qiraat yang tetap pada satu huruf. Utsman memerintahkan kepada (1) Zaid bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubair, (3) Sa’d bin ‘Ash, (4) Abdul Rahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf. Dan jika terjadi perbedaan diantara mereka, maka hendaknya Al-Qur’an ditulis dengan logat Quraisy. Karena dengan logat Quraisylah Al-Qur’an diturunkan. Setelah usai penulisan Al-Qur’an dalam beberapa mushaf, Utsman mengirimkan ke setiap daerah satu mushaf, serta beliau memerintahkan untuk membakar mushaf atau lembaran yang lain. Sedangkan satu mushaf tetap di simpan di Madinah, yang akhirnya dikenal dengan sebutan mushaf imam. Kemudian mushaf asli yang dipinta dari Hafsah, dikembalikan pada beliau. Sehingga jadilah Al-Qur’an dituliskan pada masa Utsman dengan satu huruf, yang sampai pada tangan kita. (Al-Qatthan, 1995 : 128 – 131)
5. (المتعبد بتلاوته) Membacanya sebagai ibadah.
Pengumpulan Al-Qur’an pertama kali dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Shidiq, atas usulan Umar bin Khatab yang khawatir akan hilangnya Al-Qur’an, karena banyak para sahabat dan qari’ yang gugur dalam peperangan Yamamah. Tercatat dalam peperangan ini, terdapat tiga puluh sahabat yang syahid. Mulanya Abu Bakar menolak, namun setelah mendapat penjelasan dari Umar, beliaupun mau melaksanakannya. Mereka berdua menunjuk Zaid bin Tsabit, karena Zaid merupakan orang terakhir kali membacakan Al-Qur’an di hadapan Rasulullah SAW sebelum beliau wafat. Pada mulanya pun Zaid menolak, namun setelah mendapatkan penjelasan dari Abu Bakar dan Umar, Allah pun membukakan pintu hatinya. Setelah ditulis, Mushaf ini dipegang oleh Abu Bakar, kemudian pindah ke Umar, lalu pindah lagi ke tangan Hafshah binti Umar. Kemudian pada masa Utsman bin Affan ra, beliau memintanya dari tangan Hafsah. (Al-Qatthan, 1995 : 125 – 126).
Kemudian pada Utsman bin Affan, para sahabat banyak yang berselisih pendapat mengenai bacaan (baca; qiraat) dalam Al-Qur’an. Apalagi pada masa beliau kekuasan kaum muslimin telah menyebar sedemikian luasnya. Sementara para sahabat terpencar-pencar di berbagai daerah, yang masing-masing memiliki bacaan/ qiraat yang berbeda dengan qiraat sahabat lainnya. (Qiraat sab’ah). Kondisi seperti ini membuat suasana kehidupan kaum muslimin menjadi sarat dengan perselisihan, yang dikhawatirkan mengarah pada perpecahan. Pada saat itulah, Hudzifah bin al-Yaman melaporkan ke Utsman bin Affan, dan disepakati oleh para sahabat untuk mrnyslin mushaf Abu Bakar dengan bacaan/ qiraat yang tetap pada satu huruf. Utsman memerintahkan kepada (1) Zaid bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubair, (3) Sa’d bin ‘Ash, (4) Abdul Rahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf. Dan jika terjadi perbedaan diantara mereka, maka hendaknya Al-Qur’an ditulis dengan logat Quraisy. Karena dengan logat Quraisylah Al-Qur’an diturunkan. Setelah usai penulisan Al-Qur’an dalam beberapa mushaf, Utsman mengirimkan ke setiap daerah satu mushaf, serta beliau memerintahkan untuk membakar mushaf atau lembaran yang lain. Sedangkan satu mushaf tetap di simpan di Madinah, yang akhirnya dikenal dengan sebutan mushaf imam. Kemudian mushaf asli yang dipinta dari Hafsah, dikembalikan pada beliau. Sehingga jadilah Al-Qur’an dituliskan pada masa Utsman dengan satu huruf, yang sampai pada tangan kita. (Al-Qatthan, 1995 : 128 – 131)
Dalam setiap huruf Al-Qur’an yang kita baca, memiliki
nilai ibadah yang tiada terhingga besarnya. Dan inilah keistimewaan
Al-Qur’an, yang tidak dimiliki oleh apapun yang ada di muka bumi ini.
Allah berfirman (QS. 35 : 29 – 39)
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ
وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ
تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ*
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ*
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ*
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab
Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah
menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka
dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri.”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga pernah mengatakan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ
فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم
حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ (رواه
الترمذي)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda,
‘Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah (Al-Qur’an), maka
ia akan mendapatkan satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dengan sepuluh
kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim sebagai satu
haruf. Namun Alif merupakan satu huruf, Lam satu huruf dan Mim juga satu
huruf.” (HR. Tirmidzi)
Konsekwensi Keimanan Terhadap Al-Qur’an.
Sebenarnya Allah SWT tidak pernah memaksa umat
manusia untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup mereka. Allah
hanya memberikan yang terbaik dan yang lpaling sesuai dengan manusia
dalam menapaki serta meniti jalan kehidupan ini agar mereka mendapatkan
kebahagian hakiki baik di dunia maupun di akhirat. Hanya mereka-mereka
yang dapat berfikir sehatlah, yang mau menjadikan Al-Qur’an sebagai
kitabul hidayah dalam segala aspek kehidupan mereka. Bagi mereka yang
memiliki keimanan kepada Allah, terdapat beberapa hal yang menjadi
konsekwensi keimanan mereka terhadap Al-Qur’an, yaitu:
1. (الأنس به) Senantiasa ‘dekat’ dengan Al-Qur’an.
1. (الأنس به) Senantiasa ‘dekat’ dengan Al-Qur’an.
Dekat dengan Al-Qur’an maksudnya adalah senantiasa
memiliki keinginan untuk berinteraksi secara dekat dengan Al-Qur’an.
Interaksi ini tergambarkan dalam dua hal:
a) (تعلمه) Mempelajarinya.
a) (تعلمه) Mempelajarinya.
Al-Qur’an ibarat lautan yang sarat dengan
mutiara-mutiara yang tiada terhingga jumlahnya. Dari sisi manapun kita
membuka lembaran-lembaranya, akan kita jumpai hal-hal yang tidak pernah
kita dapatkan sebelumnya di manapun. Oleh karena itulah, mempelajari
Al-Qur’an merupakan satu hal yang teramat sangat penting dalam kehidupan
manusia. Generasi awal umat ini dapat maju dan menjadi pemimpin dunia,
adalah karena mereka benar-benar mempelajari Al-Qur’an untuk kemudian
diamalkannya. Mempelajari Al-Qur’an mecakup beberapa aspek:
• (تلاوة) Dari sisi tilawahnya, mencakup tajwid,
makharijul huruf, qiraah dan lain sebagainya. Sehingga dirinya dapat
membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Karena jika terdapat kesalahan
dalam membaca, berakibat pada perubahan maknanya. Dalam sebuah hadits
dikatakan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ
الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ
عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ (رواه مسلم)
Dari Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seseroang
yang mahir dalam membaca Al-Qur’an, kelak ia akan dikumpulkan bersama
para malaikat yang mulia dan suci. Dan orang yang masih terbata-bata
membacanya lagi berat, maka ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat.
(HR. Muslim)
• (فهما) Dari sisi pemahamannya, mencakup masalah
ibadah, muamalah, jihad, dan lain sebagainya. Pemahaman sangat penting
karena merupakan pijakan dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan riil.
Tanpa pemahaman yang baik, tentulah akan sulit dalam merealisasikan
Al-Qur’an pada kehidupan nyata. Allah menggambarkan dalam Al-Qur’an
mengenai mereka-mereka yang tidak mau memahami ayat-ayat Allah (QS. 7 :
179):
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ
قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.
• (تطبيقا) Dari sisi perealisasiannya, mencakup
bidang ekonomi, sosial, politik dsb. Karena merealisasikan Al-Qur’an
dalam kehidupan nyata merupakan perintah Allah kepada seluruh umat
Islam. Artinya hal ini sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan.
Allah berfirman (QS. 5 : 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
• (حفظا) Dari sisi menghafal ayat-ayat dan
surat-surat dalam Al-Qur’an. Karena menghafal Al-Qur’an memiliki
keistimewaan tersendiri. Dahulu para sahabat, kebanyakan dari mereka
hafal Al-Qur’an. Demikian juga para salafuna shaleh, serta para
Imam-Imam kaum muslimin. Ahli Tafsir pun memberikan syarat kehursan
hafal Al-Qur’an bagi siapa saja yang ingin menjadi penafsirnya. Mengenai
keutamaan penghafal Al-Qur’an Rasulullah SAW pernah bersabda:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَحَفِظَهُ أَدْخَلَهُ
اللَّهُ الْجَنَّةَ وَشَفَّعَهُ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
كُلُّهُمْ قَدْ اسْتَوْجَبُوا النَّارَ (رواه ابن ماجه)
Dari Ali bin Abi Thalib, ra, Rasulullah SAW bersabda,
‘Barang siapa yang membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam surga dan memberinya hak syafaat untuk sepuluh
anggota keluarganya yang telah ditetapkan masuk neraka. (HR. Ibnu Majah)
b) (تعليمه) Mengajarkannya pada orang lain.
Sebagai seorang muslim yang baik, tidak akan merasa
cukup dengan mempelajarinya saja untuk kemudian dijadikan bekal bagi
dirinya sendiri. Namun lebih dari itu, setiap muslim memiliki kewajiban
untuk mengajarkannya kepada orang lain. Bahkan dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW mengatakan bahwa pengajar Al-Qur’an adalah sebaik-baik
mu’min:
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ
وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري)
Dari Utsman ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sebaik-baik
kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya). (HR.
Bukhari)
Mengajarkan Al-Qur’an kepada orang lain juga mencakup
empat hal dalam mempelajarinya, yaitu, dari segi tilawah, pemahaman,
pengaplikasian dan penghafalannya.
2. (تربية النفس به) Mentarbiyah diri dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan Kitabul Hidayah, yang dapat
merubah suatu kondisi masyarakat dari kejahiliyahan menuju masyarakat
Islam. Rasulullah SAW telah membuktikannya dengan merubah kondisi bangsa
Arab yang suka peperangan, perampasan hak, kedustaan, khomer,
perzinaan, pembunuhan, riba dan lain sebagainya menjadi masyarakat yang
cinta perdamaian, persamaan hak, kejujuran, kasih sayang, keadilan dan
lain sebagainya. Kesemuanya dapat dilakukan karena Al-Qur’an merupakan
kitabul hidayah; memberikan hidayah kepada manusia dari kegelapan menuju
cahaya Islam yang terang benderang. Al-Qur’an banyak sekali
mengungkapkan mengenai fungsi Al-Qur’an sebagai kitabul hidayah,
diantaranya adalah:
الم* ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ*
الم* ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ*
“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
3. (التسليم لأحكامه) Menerima sepenuh hati segala hukum yang terdandung di dalamnya.
Jika kita memahami bahwa bahwa Al-Qur’an merupakan
Kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW, tentulah kita akan
dengan segera melaksanakan isi kandungan dari Al-Qur’an. Karena segala
perintah, larangan, pesan atau apapun yang terdapat di dalamnya,
merupakan perintah, larangan, pesan dari Allah SWT. Dan di sinilah
keimanan kita akan diuji oleh Allah SWT. Orang yang beriman, ia akan
dengan segera melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Allah berfirman (QS. 33 : 36)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
4. (الدعوة إليه) Berda’wah (mengajak) orang lain kepada Al-Qur’an.
Karena kita meyakini bahwa hanya Al-Qur’anlah
satu-satunya pedoman hidup yang dapat membahagiakan manusia baik di
dunia maupun di akhirat. Hanya Al-Qur’anlah yang dapat memberikan
keteduhan, ketenangan dan kesejukan dalam tiap diri insan. Al-Qur’an
telah terbukti menjadikan umat Islam mampu menjadi pemimpin dunia dalam
kurun waktu yang relatif lama. Al-Qur’an juga mampu merubah kondisi
suatu bangsa dari jurang kebobrokan menuju puncak kemuliaan. Oleh karena
itulah, salah satu konsekwensi keimanan kita kepada Al-Qur’an adalah
mengajak mereka dengan cara yang bijak untuk bersama-sama menjadikan
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Allah SWT mengatakan (QS. 16 : 125)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.”
5. (إقامته في الأرض) Menegakkannya di muka bumi.
Allah SWT telah menuntut pada kaum-kaum yang
terdahulu untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi, maka demikian pula
halnya dengan umat Islam. Allah menuntut pada kita untuk menegakkan
agama-Nya, dengan menegakkan Al-Qur’an. Menegakkan Al-Qur’an adalah
dengan menegakkan hukum-hukumnya di muka bumi yang menjadi hukum seluruh
umat manusia di manapun mereka berada. Allah SWT berfirman (QS. 42 :
13)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ
أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ
مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ
وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
Karena sesungguhnya Allah SWT telah memberikan janji
untuk menegakkan agama ini sebagaimana telah ditegakkan oleh umat-umat
sebelum kita. Bagaimanapun kondisinya, suatu ketika Al-Islam akan
menjadi pedoman hidup dan hukum yang menjadi acuan bagi kehidupan
seluruh umat manusia. Allah mengatakan (QS. 24 : 55)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ
بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ
بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah
mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.”
Al-Qur’an Sebagai Minhajul Hayah.
Konsepsi inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan
umat manusia dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak
bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah telah
membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Sayid Qutub
mengemukakan (1993 : 14) :
“Bahwa sebuah generasi telah terlahir dari da’wah –
yaitu generasi sahabat – yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam
sejarah umat Islam, bahkan dalam sejarah umat manusia secara
keseluruhan. Generasi seperti ini tidak muncul kedua kalinya ke atas
dunia ini sebagaimana mereka… Meskipun tidak disangkal adanya beberapa
individu yang dapat menyamai mereka, namun tidak sama sekali sejumlah
besar sebagaimana sahabat dalam satu kurun waktu tertentu, sebagaiamana
yang terjadi pada periode awal dari kehidupan da’wah ini…”
Cukuplah kesaksian Rasulullah SAW menjadi bukti kemulyaan mereka, manakala beliau mengatakan dalam sebuah haditsnya:
عن عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Dari Imran bin Hushain ra, Rasulullah SAW bersabda:
‘Sebaik-baik kalian adalah generasi yang ada pada masaku (para sahabat) ,
kemudian generasi yang berikutnya (tabi’in) , kemudian generasi yang
berikutnya lagi (atba’ut tabiin). (HR. Bukhari)”
Imam Nawawi secara jelas mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan ‘generasi pada masaku’ adalah sahabat Rasulullah SAW.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan
sahabat:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي
فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ
أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ (رواه البخاري)
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda,
‘Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Karena sekiranya salah
seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya
ia tidak akan dapat menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai
setengahnya pun tidak. (HR. Bukhari).
Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14 – 23) , terdapat
tiga hal yang melatar belakangi para sahabat sehingga mereka dapat
menjadi khairul qurun, yang tiada duanya di dunia ini. Secara ringkasnya
adalah sebagai berikut:
pertama, karena mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai
satu-satunya sumber petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka,
dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya.
Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak
memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan
lain sebainya. Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan
apa yang diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka.
Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang
berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa
Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan
masa lalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya.
Dengan ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul
sebagai generasi terindah yang pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan
karena ‘ketotalitasan’ mereka ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an,
yang dilandasi sebuah keyakinan yang sangat mengakar dalam lubuk
sanubari mereka yang teramat dalam, bahwa hanya Al-Qur’an lah
satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada
kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
Penutup
Tinggallah dua pilihan masih ternganga di hadapan
kita; antara jaya dengan Al-Qur’an, atau binasa dengan meninggalkannya.
Sejarah telah berbicara sebagai fakta abadi; bahwa umat ini dapat
memperoleh izzahnya dengan Al-Qur’an. Dan merekapun Allah kerdilkan
karena meninggalkan Al-Qur’an. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
mengatakan:
عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا
الْكِتَابِ
أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab
ini (al-Qur’an), dengan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang
lain.” (HR. Muslim)
Wallahu A’lam Bis Shawab.By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Bahan Bacaan
Hadiri, Choiruddin. Klaifikasi Kandungan Al-Qur’an. 1996. Cet. V. Jakarta – Indonesia : Gema Insani Press.
Al-Qatthan, Manna’. Mabahits fi Ulumil Qur’an. 1995 – 1416 H. Cet. XXVII. Beirut – Libanon : Mu’assasah al-Risalah.
Quthb, Sayyid. Ma’alim fi Al-Thariq. 1993 – 1413 H. Cet. XVII. Beirut – Libanon / Kairo – Mesir: Dar Al-Syuruq.
Syahbah, Muhammad ibn Muhammad. Al-Sirah Al-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an wa Al-Sunnah : Dirasah Muharrarah, Jama’at Bain Ashalah Al-Qadim wa Jiddatil Hadits. 1996 – 1417 H. Cet. III. Damaskus : Dar Al-Qalam.
CD. ROM. Fi Dzilal Al-Qur’an. Versi 1.6. Amman – Yordania : Dar Husibah al-Nash al-Araby (Arabic Text ware).
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
Al-Qatthan, Manna’. Mabahits fi Ulumil Qur’an. 1995 – 1416 H. Cet. XXVII. Beirut – Libanon : Mu’assasah al-Risalah.
Quthb, Sayyid. Ma’alim fi Al-Thariq. 1993 – 1413 H. Cet. XVII. Beirut – Libanon / Kairo – Mesir: Dar Al-Syuruq.
Syahbah, Muhammad ibn Muhammad. Al-Sirah Al-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an wa Al-Sunnah : Dirasah Muharrarah, Jama’at Bain Ashalah Al-Qadim wa Jiddatil Hadits. 1996 – 1417 H. Cet. III. Damaskus : Dar Al-Qalam.
CD. ROM. Fi Dzilal Al-Qur’an. Versi 1.6. Amman – Yordania : Dar Husibah al-Nash al-Araby (Arabic Text ware).
CD. ROM. Al-Qur’an 6.50 & Al-Hadits. Syirkah Sakhr li Baramij al-Hasib (1991 – 1997).
CD. ROM. Mausu’ah al-Hadits al-Syarif 2.00 (Al-Ishdar al-Tsani). Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar