Kamis, 15 September 2011

PARFUM BERALKOHOL, NAJISKAH?

PARFUM BERALKOHOL, NAJISKAH?

Tanya :
Ustadz, apa hukumnya menggunakan parfum yang beralkohol?
Jawab :
Parfum beralkohol adalah setiap parfum yang mengandung alkohol (etanol). Banyak orang mengira kadar alkohol dalam parfum lebih sedikit dibanding kadar parfum murninya. Padahal faktanya kadar alkoholnya lebih banyak. Menurut Al-Dhumairi, umumnya kadar parfum murninya hanya 10 % sedang kadar alkoholnya 90 %. Paling banyak kadar parfum murninya hanya sekitar 25 %. Jadi, sebutan yang tepat sebenarnya alkohol berparfum, bukan parfum beralkohol. (Abu Malik Al-Dhumairi, Fathul Ghafur fi Isti’mal Al-Kuhul Ma’a al-‘Uthur, hal. 14-15).
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan parfum beralkohol. Sebagian ulama tidak membolehkan, karena menganggap alkohol najis. Sedang sebagian lainnya membolehkan, karena tak menganggapnya najis. Perbedaan pendapat tentang kenajisan alkohol berpangkal pada perbedaan pendapat tentang khamr, apakah ia najis atau tidak.
Khamr itu sendiri dalam pengertian syar’i adalah setiap minuman yang memabukkan (kullu syaraabin muskirin) (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hal. 25). Di masa modern kini telah diketahui, unsur yang membuat khamr memabukkan adalah alkohol (etanol). Maka dalam pengertian teknis kimia, khamr didefinisikan sebagai setiap minuman yang mengandung alkohol (etanol) baik kadarnya sedikit maupun banyak. (Abu Malik Al-Dhumairi, ibid., hal. 13).
Menurut jumhur (mayoritas) fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Taimiyah, khamr adalah najis. Namun sebagian ulama, seperti Imam Laits bin Sa’ad, Muzani, dan Rabi’ah Al-Ra`yi, menganggap khamr itu suci, tidak najis. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1/260 & 7/427; Imam Al-Qurthubi, Ahkamul Qur`an, 3/52; Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, 1/18).
Ulama yang menganggap khamr najis antara lain berdalil dengan ayat (artinya),"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji (rijsun) termasuk perbuatan syaitan." (QS Al-Ma`idah : 90). Ayat ini menunjukan kenajisan khamr, karena Allah SWT menyebut khamr merupakan rijsun, yang berarti najis. Karena itu, menurut ulama Hanafiyah pakaian yang tersiram khamr seukuran koin dirham tidak boleh digunakan sholat karena dianggap terkena najis. (Wahbah Zuhaili, ibid., 7/427).
Namun ulama yang menganggap khamr tak najis membantah pendapat tersebut. Menurut mereka kata rijsun dalam ayat tersebut artinya adalah najis secara maknawi, bukan najis secara hakiki. Artinya khamr tetap dianggap zat suci, bukan najis, meskipun memang haram untuk diminum. Karena zat yang haram tak selalu najis, meski zat yang najis pasti haram. (Tafsir Al-Manar, 58/7; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 1/36; Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, 1/19).
Adapun menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa khamr itu najis. Dalilnya memang bukan ayat tentang khamr (QS Al-Ma`idah : 90), namun hadits Nabi SAW dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA. Dia pernah bertanya kepada Nabi SAW,"Kami bertetangga dengan Ahli Kitab sedang mereka memasak babi dalam panci-panci mereka dan meminum khamr dalam bejana-bejana mereka." Nabi SAW menjawab,"Jika kamu dapati wadah lainnya, makan makan dan minumlah padanya. Jika tidak kamu dapati wadah lainnya, cucilah wadah-wadah mereka dengan air dan gunakan untuk makan dan minum." (HR Ahmad & Abu Dawud, dengan isnad shahih).(Subulus Salam, 1/33; Nailul Authar, hal. 62).
Hadits di atas menunjukkan kenajisan khamr, sebab Nabi SAW tidak memerintahkan untuk mencuci wadah mereka dengan air, kecuali karena khamr itu najis. Ini diperkuat dengan riwayat Ad-Daruquthni, bahwa Nabi SAW bersabda,"maka cucilah wadah-wadah mereka dengan air karena air itu akan menyucikannya." (farhadhuuhaa bil-maa`i fa-inna al-maa`a thahuuruhaa) (Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Shalah, 1/45).
Kesimpulannya, alkohol (etanol) itu najis karena khamr itu najis. Maka, parfum beralkohol tidak boleh digunakan karena najis. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 28 Desember 2010
Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Tidak ada komentar: